Pilih Bahasa

Thursday 4 May 2017

Menguak Makna Penamaan Surah Alquran Dalam Prespektif Struktur (Bagian- III)



Pada bagian dua (Bagian-II) artikel struktur Alquran telah mengulas tentang Instink Survive (mempertahankan hidup, diri), berikut artikel selanjutnya yang masih menjelasakan seputar karakter manusia melalui pendekatan struktur Alquran.

3. Marah
Salah satu karakter yang digambarkan oleh Alquran sebagai sosok yang temperamental dan mudah marah adalah Nabi Musa as. Tentu, hal ini tidak mengurangi sifat-sifat dan kedudukannya yang mulya sebagai utusan Allah SWT.

Sebab, terlepas dari itu, bahwa para Rasul dan Nabi utusan Allah SWT adalah manusia biasa seperti kita, bedanya mereka selalu diawasi dan diingatkan secara langsung oleh Allah SWT dan pastinya mereka menerima wahyu dengan segala keistimewaannya.

Kondisi psikologi ibunya saat pertamakali melahirkan dan menyusuinya sangat rentan terhadap stress. Bagaimana tidak? Pada tahun yang sama saat Musa as dilahirkan, Fir’aun membuat kebijakan agar setiap bayi laki-laki yang dilahirkan dibunuh.

Hal ini terkait mimpi yang didapatnya bahwa akan terlahir seorang bayi laki-laki yang kelak dapat mengancam kedudukannya sebagai raja Mesir dan Tuhan yang disembah.
Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan Ibunda Musa as kala itu. Panik dan kawatir atas keselamatan puteranya menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang Ibu seperti dirinya.

Meski Allah SWT berusaha menenangkan dirinya, seperti diungkapkan pada ayat berikut ini:


 “…Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS. al Qashsas, 28:7),  

sebagai manusia biasa dan seorang ibu, ia tak dapat menyembunyikan perasaannya.

Dari hasil riset yang dilakukan oleh para ahli kedokteran jiwa disimpulkan bahwa kondisi kejiwaan sang Ibu saat menyusui bayinya sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku anaknya saat dewasa nanti.
Oleh karenanya, mereka tidak menganjurkan bila seorang ibu sedang stress, sedih atau kondisi jiwanya sedang tidak stabil agar sementara waktu tidak menyusui bayinya.

Lalu bagaimana dengan Ibu Musa as yang diwahyukan Allah SWT, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa:”Susuilah dia..”? Hemat penulis, peristiwa tersebut merupakan Grand desain Allah SWT untuk membentuk karakter calon utusanNya itu dalam rangka mengujinya.

Wajar, saat Musa as menginjak usia remaja, Ia mudah tersulut emosinya. Terbukti, saat menyaksikan salah seorang kaumnya berselisih dengan antek Fir’aun Ia ikut naik pitam dan memukulnya hingga tewas. Perhatikan ayat berikut: 


“,..Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu…” (QS.al Qashsas, 28:15.)

Namun Ia segera menyesali dan menyadari kesalahannya, “..Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”.Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 28:16)

Nah, dari kasus Musa as kita dapat belajar bahwa Alquran menggambarkan marah sebagai sebuah kondisi yang menyebabkan manusia jatuh dalam kungkungan suatu kekuatan yang sangat kuat. Kekuatan inilah yang menguasainya dan mendorongnya dapat melakukan segala hal tanpa disadarinya.

Untuk menghadapi sifat mengerikan ini, Nabi saw memberikan tipsnya. Beliau mengibaratkan marah sebagai api yang panas dan membakar. Wajar, bila ketika seseorang marah, wajahnya memerah seperti bara api. Tentu, air-lah lawan yang sepadan untuk menghadinya. Sehingga, beliau pun mengajurkan agar seseorang yang marah segera mengambil air wudlu. Bersambung…Bagian III

4. Culas dan Menyimpang
Manusia, sebagai makhluk yang memiliki dua unsur, kebaikan dan keburukan, diuji eksistensi dan kualitasnya. Simak Qs. as Syams, 91 : 8, “ maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.

Bila unsur takwa (kebaikan) lebih dominan pada dirinya, maka Ia akan semakin eksis dan berkualitas. Sebab, unsur inilah yang mendorongnya bertindak adil dan seimbang sesuai kepasitasnya sebagai makhluk individu dan sosial. Renungkan ayat berikutnya, : “sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu”. (Qs. as Syams, 91 : 9).

Sebaliknya, bila unsur Fujur (keburukan) yang menguasai dirinya, Ia akan semakin terpuruk dan berkualitas rendah. Unsur inilah yang memotivasi pelbagai tindakan amoral dan menyimpang. Puncaknya, menghalalkan segala cara untuk meraih obsesi dan memperturutkan hawa nafsunya. Akibatnya, apa yang dikatakan ayat berikut ini akan dialaminya, “dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Qs. as Syams, 91 : 10).

Setidaknya, unsur kedua inilah yang sedang menghinggapi para saudara Yusuf as. Iridengki yang berujung kebencian memaksa mereka menghalalkan segala cara, menuruti nafsu durjana, melenyapkan saudara kandungnya sendiri dari dunia ini.

Di sisi lain, rasa sayang mereka terhadap ayah mereka yang telah lanjut usia sempat menjadi penghalang terlaksananya akal busuknya. Namun, rasa hasud terhadap Yusuf as sudah tak tertahankan lagi. Mereka stress melihat pemandangan sehari-hari dimana ayah mereka, Ya’kub as, lebih mencurahkan kasih sayangnya kepada Yusuf as.

Hal ini sekaligus pelajaran bagi mereka pada orang tua agar berlaku adil dan bijak dalam memperlakukan anak-anak mereka. Setelah para saudara Yusuf as melaksanakan rencana jahatnya terhadap saudaranya itu, mereka merasa puas.(bersambung…)

By. H. Ziyad Ulhaq., SQ., MA 

No comments:

Post a Comment