Pada bagian dua (Bagian-II) artikel
struktur Alquran telah mengulas tentang Instink Survive (mempertahankan hidup,
diri), berikut artikel selanjutnya yang masih menjelasakan seputar karakter
manusia melalui pendekatan struktur Alquran.
3. Marah
Salah satu karakter yang digambarkan
oleh Alquran sebagai sosok yang temperamental dan mudah marah adalah Nabi Musa
as. Tentu, hal ini tidak mengurangi sifat-sifat dan kedudukannya yang mulya
sebagai utusan Allah SWT.
Sebab, terlepas dari itu, bahwa para
Rasul dan Nabi utusan Allah SWT adalah manusia biasa seperti kita, bedanya
mereka selalu diawasi dan diingatkan secara langsung oleh Allah SWT dan
pastinya mereka menerima wahyu dengan segala keistimewaannya.
Kondisi psikologi ibunya saat
pertamakali melahirkan dan menyusuinya sangat rentan terhadap stress. Bagaimana
tidak? Pada tahun yang sama saat Musa as dilahirkan, Fir’aun membuat kebijakan
agar setiap bayi laki-laki yang dilahirkan dibunuh.
Hal ini terkait mimpi yang
didapatnya bahwa akan terlahir seorang bayi laki-laki yang kelak dapat
mengancam kedudukannya sebagai raja Mesir dan Tuhan yang disembah.
Dapat dibayangkan, bagaimana
perasaan Ibunda Musa as kala itu. Panik dan kawatir atas keselamatan puteranya
menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang Ibu seperti dirinya.
Meski Allah SWT berusaha menenangkan dirinya, seperti diungkapkan pada ayat berikut ini:
“…Dan janganlah kamu
khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.
(QS. al Qashsas, 28:7),
sebagai manusia biasa dan seorang ibu, ia tak dapat
menyembunyikan perasaannya.
Dari hasil riset yang dilakukan oleh
para ahli kedokteran jiwa disimpulkan bahwa kondisi kejiwaan sang Ibu saat
menyusui bayinya sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku anaknya saat dewasa
nanti.
Oleh karenanya, mereka tidak
menganjurkan bila seorang ibu sedang stress, sedih atau kondisi jiwanya sedang
tidak stabil agar sementara waktu tidak menyusui bayinya.
Lalu bagaimana dengan Ibu Musa as
yang diwahyukan Allah SWT, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa:”Susuilah dia..”?
Hemat penulis, peristiwa tersebut merupakan Grand desain Allah SWT untuk
membentuk karakter calon utusanNya itu dalam rangka mengujinya.
Wajar, saat Musa as menginjak usia
remaja, Ia mudah tersulut emosinya. Terbukti, saat menyaksikan salah seorang
kaumnya berselisih dengan antek Fir’aun Ia ikut naik pitam dan memukulnya
hingga tewas. Perhatikan ayat berikut:
“,..Maka orang yang dari
golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari
musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu…” (QS.al Qashsas,
28:15.)
Namun Ia segera menyesali dan
menyadari kesalahannya, “..Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku
sendiri karena itu ampunilah aku”.Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah
Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 28:16)
Nah, dari kasus Musa as kita dapat
belajar bahwa Alquran menggambarkan marah sebagai sebuah kondisi yang
menyebabkan manusia jatuh dalam kungkungan suatu kekuatan yang sangat kuat.
Kekuatan inilah yang menguasainya dan mendorongnya dapat melakukan segala hal
tanpa disadarinya.
Untuk menghadapi sifat mengerikan
ini, Nabi saw memberikan tipsnya. Beliau mengibaratkan marah sebagai api yang
panas dan membakar. Wajar, bila ketika seseorang marah, wajahnya memerah seperti
bara api. Tentu, air-lah lawan yang sepadan untuk menghadinya. Sehingga, beliau
pun mengajurkan agar seseorang yang marah segera mengambil air wudlu.
Bersambung…Bagian III
4. Culas dan Menyimpang
Manusia, sebagai makhluk yang
memiliki dua unsur, kebaikan dan keburukan, diuji eksistensi dan kualitasnya.
Simak Qs. as Syams, 91 : 8, “ maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya”.
Bila unsur takwa (kebaikan) lebih
dominan pada dirinya, maka Ia akan semakin eksis dan berkualitas. Sebab, unsur
inilah yang mendorongnya bertindak adil dan seimbang sesuai kepasitasnya
sebagai makhluk individu dan sosial. Renungkan ayat berikutnya, : “sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu”. (Qs. as Syams, 91 : 9).
Sebaliknya, bila unsur Fujur
(keburukan) yang menguasai dirinya, Ia akan semakin terpuruk dan berkualitas
rendah. Unsur inilah yang memotivasi pelbagai tindakan amoral dan menyimpang.
Puncaknya, menghalalkan segala cara untuk meraih obsesi dan memperturutkan hawa
nafsunya. Akibatnya, apa yang dikatakan ayat berikut ini akan dialaminya, “dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Qs. as Syams, 91 : 10).
Setidaknya, unsur kedua inilah yang
sedang menghinggapi para saudara Yusuf as. Iridengki yang berujung kebencian memaksa
mereka menghalalkan segala cara, menuruti nafsu durjana, melenyapkan saudara
kandungnya sendiri dari dunia ini.
Di sisi lain, rasa sayang mereka
terhadap ayah mereka yang telah lanjut usia sempat menjadi penghalang
terlaksananya akal busuknya. Namun, rasa hasud terhadap Yusuf as sudah tak
tertahankan lagi. Mereka stress melihat pemandangan sehari-hari dimana ayah
mereka, Ya’kub as, lebih mencurahkan kasih sayangnya kepada Yusuf as.
Hal ini sekaligus pelajaran bagi
mereka pada orang tua agar berlaku adil dan bijak dalam memperlakukan anak-anak
mereka. Setelah para saudara Yusuf as melaksanakan rencana jahatnya terhadap
saudaranya itu, mereka merasa puas.(bersambung…)
By. H. Ziyad Ulhaq., SQ., MA
No comments:
Post a Comment