Selain tersirat pada struktur dan
formatnya yang selama ini di kaji dan dituturkan Khalifah, Psikologi juga
tersurat dalam ayat Alquran secara verbal. Tentu, untuk mengungkapkanya
diperlukan pendekatan Tafsir. Berikut ini, penulis ketengahkan beberapa
spesifikasi (tabiat, tingkahlaku, sepakterjang) makhluk bernama manusia, yang
oleh para ilmuan abad modern disebut sebagai Psikologi. Informasi ini tersirat
secara indah dalam untaian kalam suci, Alqan al Karim. (bersambung)
1. Rasa
bersalah. Alquran membedakan antara Ruh, Jasad dan Nafsu yang menyatu dalam
diri produk makhluk bernama manusia. Ayat-ayat yang menyinggung masalah ini pun
bertebaran dalam banyak surah-surah Alquran. Salah satu hasil dari kombinasi
ketiga unsur dalam menusia tersebut adalah timbulnya rasa bersalah ketika
manusia melakukan atau melanggar sesuatu yang dilarang Allah SWT.
Kenapa
demikian? Sebab, sesuatu yang titahkan dan dilarang oleh Allah SWT itu bersifat
fitrah dan selaras dengan hati nurani manusia. Ketika manusia melanggar, pada
saat yang bersamaan Ia akan tersentuh hati nuraninya. Hati nuraninya (fitrah)nya
akan berontak. Nah, disinilah manusia sebagai makhluk yang berakal diuji;
antara mendengarkan hati nuraninya yang selanjutnya diaplikasikan dengan sikap
meninggalkan atau tidak jadi melanggar ketentuan Allah SWT.
Sebaliknya, Ia
tetap melanggar perintah atau larangan Allah SWT dengan bersikap pura-pura
budeg atau tuli terhadap suara hati nuraninya. Alquran telah menceritakan
bagaimana tersiksanya perasaan tiga orang sahabat yang secara sengaja
tidak mengikutsertakan dirinya berperang tanpa udzur apapun, di saat Rasulullah
saw bersama para sahabatnya yang lain saw berjihad mempertaruhkan nyawa mereka
demi kejayaan Islam. Simak ayat berikut:
“Dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa
merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.
Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang"..
(QS. 9:118)
Dan juga,
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan
orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai
Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai
diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena
mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan
tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang
kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah
bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". (QS. 9:120)
Ayat
di atas mengisyaratkan bahwa di saat mereka menolak untuk berangkat berperang,
hati nurani mereka protes. Namun, mereka berusaha memendam dalam-dalam suara
jernih nan suci (fitrah) yang timbul dari hati yang paling dalam. Tak ayal,
mereka pun sangat menyesal dan bahkan cenderung menyalahkan diri mereka.
Digambarkan dalam ayat tersebut seakan-akan mereka merasa bumi ini menyempit
dan menjepit mereka sehingga nafas mereka tersengal-sengal. Mereka merasa bahwa
perbuatan yang telah mereka lakukan merupakan dosa atau kesalahan yang tak
terampuni. Akhirnya, mereka bertaubat tidak mengulanginya kembali.
2.
Instink Survive (mempertahankan hidup, diri). Tanpa disadari, manusia,
memiliki sikap mempertahankan diri dari kemusnahan ketika ada bahaya yang mengancam
dirinya. Ibarat sebuah warning sistem yang setiap saat akan berbunyi saat
bahaya muncul. Instink itu mendorong manusia tanggap dan segera menghindarkan
diri dari ancaman yang tertuju padanya. Refleks yang muncul dapat berupa sikap
menangkis secara fisik atau lari dari objek yang mengancamnya. Jauh sebelum
Nabi Muhammad saw diutus, melalui Alquran yang diturunkan kepadanya, Allah SWT
telah mengisyaratkan bagaimana sekelompok manusia menyelamatkan diri dari
ancaman pembunuhan yang mengancam jiwa mereka. Simak ayat berikut:
(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu
mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Rabb
kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi
kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". (QS. al Kahfi, 18:10)
Mereka lari menyelamatkan diri ke
sebuah Gua sampai Allah SWT menidurkan mereka selama kurun waktu 309 tahun
lamanya. Ketidaksadaran mereka menghuni Gua selama ratusan tahun itulah yang
kemudian menyebabkan mereka dikenal sebagai Ashhaabul Kahfi (penghuni Gua).
Pernahkah kita menyangka, kita akan dapat berlari sangat kencang melebihi
kecepatan pelari profesional begitu kita dikejar Anjing misalnya, sementara
pada saat yang berbeda, kemampuan lari kita dalam keadaan normal mungkin tidak
begitu cepat bahkan boleh dikatakan lambat.
Ini-lah yang digambarkan pada ayat
berikut ini:
"Dan kamu mengira mereka itu
bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke
kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan
jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan
melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan
terhadap mereka". (QS.
18:18). (bersambung).
By H. Ziyad Ulhaq., SQ., MA
No comments:
Post a Comment