Pilih Bahasa

Wednesday 29 March 2017

Mengakrabi Al Qur'an



Al Quran adalah media komunikasi kepada Allah SWT yang sangat efektif. Melalui Alquran, manusia bercengkerama dengan Tuhan. Alquran senantiasa memosisikan dirinya sebagai teman setia yang siap mendengarkan keluhan batin pembacan-nya. 

Dengan sabar ia dampingi kegalauan hati pembacanya, sampai kemudian kedamaian terasa mengalir, merebak masuk dalam sanubarinya. Kadang Alquran menyapa pembacanya dengan begitu hangat. Ia bawa pembaca dalam suasana menggembirakan, sangat indah, penuh ampunan Allah SWT. Itulah tempat yang disediakan untuk mereka yang senang menebarkan kemaslahatan hidup. 

Pada kesempatan lain, pembaca ditarik ke dalam pembicaraan yang mengerikan. Sebuah keadaan yang penuh dengan murka Allah SWT. Itulah tempat bagi mereka yang menjalani hidupnya sarat dengan kezhaliman. Sungguh Alquran terasa hidup dan akan selalu bertegur sapa, berucap salam dan menebar kebaikan pada seluruh umat manusia.

Namun demikian, sapaan Alquran yang hangat dan bermakna, kadang lewat di telinga begitu saja. Berulang kali Alquran menegur, tetapi berulang kali pula ia abaikan. Kadang ia sudah bersentuhan langsung dengan Alquran, namun sentuhan itu tidak membuatnya kenal dan akrab. Alquran masih saja terasa jauh dari kehidupannya. 

Ada kalanya lisan terus bergumam, melantunkan ayat-ayat Alquran, namun hati tetap saja gersang. Guyuran rahmat, belaian syifa' dan terangnya pelita hudan, tidak pernah hinggap dalam hatinya. Inilah kenyataan dari sekian banyak umat muslim. 

Dalam catatan hadits dinyatakan: "Banyak orang yang membaca Alquran, namun Alquran justru mengutuknya."
Tidak sedikit orang mengkaji Alquran, memahami maknanya, mempelajari tafsir dan ta'wilnya, namun Alquran masih saja jauh darinya. Ini bukan berarti Alquran tidak ingin berdekatan dengan manusia. Pada dasarnya Alquran selalu terbuka bagi siapapun yang menghampirinya. akan tetapi manusianyalah yang tidak siap bersahabat dengannya. 

Padahal, sebagaiman lazimnya, jika seseorang ingin menjalin persahabatan dengan orang lain, maka ia harus mengenal lebih dulu apa dan bagaimana karakter orang tersebut. Akhlak seperti apa yang harus dilakukan agar bisa menjadi sahabat sejatinya. Jika ini semua diabaikan, maka yakinlah bahwa persahabatan yang sesungguhnya tidak akan pernah terjadi.

Seseorang bisa menjadikan Alquran sebagai sahabat karib, atau sebaliknya, menjadi jauh dan tetap asing baginya, semua terpulang pada sikap arifnya dalam mempersiapkan diri untuk menjalin keakraban dengan Alquran. 

Sedikitnya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam menjalin keakraban dengan Alquran. 

Pertama, kesucian diri, karena Alquran yang suci hanya akan bersahabat dengan mereka yang suci. 
Para ulama berbeda pandangan menyangkut pengertian "al-muthahharûn". Sebagian mereka melihat sebagai tuntutan agar manusia membersihkan dirinya dari hadats besar maupun kecil. Orang yang sedang ber-hadats kecil saja, tidak boleh menyentuh al-Qur'an. Sebelum wudhu, ia haram memegang, membawa, bahkan sekedar menyentuhnya saja. Namun, ia tetap diperbolehkan untuk membaca al-Qur'an. Berbeda dengan mereka yang sedang ber-hadats besar. Di samping ia tidak boleh membawa, memegang dan menyentuhnya, membacanya pun haram. Siapa saja yang melakukan pelanggaran atas yang demikian akan mendapatkan dosa. Itulah pendapat para ulama bermadzhab Syafiiyah. 

Kedua, berlindung dari syetan. Isti'adzah atau berlindung diri dari syetan dalam hal ini lebih bermakna membebaskan diri dari kesombongan. Orang yang membaca al-Qur'an  harus mampu mengalahkan dirinya sendiri.
Jika diperhatikan dengan seksama, perintah membaca isti'adzah sebelum membaca al-Qur'an terasa janggal. Bagaimana mungkin orang yang telah siap taqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT dituntut untuk isti'adzah, ,ohom perlindungan dari syetan. Bukankah orang yang mau membaca al-Qur'an dan mau mempelajarinya adalah orang yang shâlih? Sementara al-Qur'an yang dibaca atau dipelajarinya adalah kitab suci yang tidak akan pernah terjamah oleh tangan syetan.
Namun al-Qur'an berkata lain (QS. 16:98). Isti'adzah dalam hal ini lebih bermakna membersihkan diri dari syetan yang bercokol di dalam hati manusia. Syetan inilah yang akan mengganggu proses penempaan al-Qur'an pada dirinya. Meskipun al-Qur'an berulang kali ia baca, tetap saja kontak dari keduanya terasa hambar dan seakan tidak pernah terjadi sama sekali. Kritik al-Qur'an, anjuran dan larangannya tidak memberi pengaruh yang berarti pada diri pembacanya.

Ketiga, menjaga ritme bacaan sesuai aturan. Menjaga ritme bacaan al-Qur'an termasuk salah satu unsur penting dari al-Qur'an. Dengan ritme bacaan yang benar sesuai kaidah tajwid, akan memberikan ruang pada al-Qur'an untuk bekerja melakukan terapi pada qalbu pembacanya. Itulah peranan yang dimainkan oleh aturan baca al-Qur'an. Sentuhan rasa yang terkandung dalam alunan bacaan al-Qur'an akan mengalir dengan halus, menyentuh hati yang dalam (fuad) dari manusia.  

Jika cara baca al-Qur'an tidak memiliki urgensi apapun, sudah barang tentu Allah SWT tidak akan mempedulikannya. Namun dalam hal ini Allah SWT justru merasa penting untuk mengajarkan dan menyontohkan secara langsung, bagaimana al-Qur'an harus dilafalkan. Hal ini karena bacaan al-Qur'an yang benar, mengikuti apa yang telah diajarkan Allah SWT, akan memberikan pengaruh pada hati pembacanya. juga pendengar-nya. Memang demikianlah, hati selalu berada dalam keunikannya sendiri. Jika ia sedang galau, kalut dan putus asa, maka hanya sentuhan kelembutan dan keheninganlah yang mampu menenangkannya. Di sinilah wilayah bacaan al-Qur'an memainkan peranannya menawarkan kedamaian dan menyuguhkan kebahagiaan sejati. Dengan begitu, keakraban dan kedekatan al-Qur'an dapat dirasakan dengan nyata. Sapaan dan belaian kasihnya mampu menenteramkan jiwa. (Alquran Sahabat Sejati)

Oleh : KH. Khatibul Umam, SQ @Nusantaramengaji

No comments:

Post a Comment