Al Quran adalah media komunikasi kepada Allah SWT yang sangat
efektif. Melalui Alquran, manusia bercengkerama dengan Tuhan. Alquran
senantiasa memosisikan dirinya sebagai teman setia yang siap mendengarkan
keluhan batin pembacan-nya.
Dengan sabar ia dampingi kegalauan
hati pembacanya, sampai kemudian kedamaian terasa mengalir, merebak masuk dalam
sanubarinya. Kadang Alquran menyapa pembacanya dengan begitu hangat. Ia bawa
pembaca dalam suasana menggembirakan, sangat indah, penuh ampunan Allah SWT.
Itulah tempat yang disediakan untuk mereka yang senang menebarkan kemaslahatan
hidup.
Pada kesempatan lain, pembaca
ditarik ke dalam pembicaraan yang mengerikan. Sebuah keadaan yang penuh dengan
murka Allah SWT. Itulah tempat bagi mereka yang menjalani hidupnya sarat dengan
kezhaliman. Sungguh Alquran terasa hidup dan akan selalu bertegur sapa, berucap
salam dan menebar kebaikan pada seluruh umat manusia.
Namun demikian, sapaan Alquran yang hangat
dan bermakna, kadang lewat di telinga begitu saja. Berulang kali Alquran
menegur, tetapi berulang kali pula ia abaikan. Kadang ia sudah bersentuhan
langsung dengan Alquran, namun sentuhan itu tidak membuatnya kenal dan akrab.
Alquran masih saja terasa jauh dari kehidupannya.
Ada kalanya lisan terus bergumam,
melantunkan ayat-ayat Alquran, namun hati tetap saja gersang. Guyuran rahmat,
belaian syifa' dan terangnya pelita hudan, tidak pernah hinggap dalam hatinya.
Inilah kenyataan dari sekian banyak umat muslim.
Dalam catatan hadits dinyatakan:
"Banyak orang yang membaca Alquran, namun Alquran justru
mengutuknya."
Tidak sedikit orang mengkaji
Alquran, memahami maknanya, mempelajari tafsir dan ta'wilnya, namun Alquran
masih saja jauh darinya. Ini bukan berarti Alquran tidak ingin berdekatan
dengan manusia. Pada dasarnya Alquran selalu terbuka bagi siapapun yang
menghampirinya. akan tetapi manusianyalah yang tidak siap bersahabat
dengannya.
Padahal, sebagaiman lazimnya, jika seseorang ingin menjalin persahabatan dengan orang lain, maka ia harus mengenal
lebih dulu apa dan bagaimana karakter orang tersebut. Akhlak seperti apa yang
harus dilakukan agar bisa menjadi sahabat sejatinya. Jika ini semua diabaikan,
maka yakinlah bahwa persahabatan yang sesungguhnya tidak akan pernah terjadi.
Seseorang bisa menjadikan Alquran
sebagai sahabat karib, atau sebaliknya, menjadi jauh dan tetap asing baginya,
semua terpulang pada sikap arifnya dalam mempersiapkan diri untuk menjalin
keakraban dengan Alquran.
Sedikitnya ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam menjalin keakraban dengan Alquran.
Pertama, kesucian diri,
karena Alquran yang suci hanya akan bersahabat dengan mereka yang suci.
Para ulama berbeda pandangan
menyangkut pengertian "al-muthahharûn". Sebagian mereka melihat
sebagai tuntutan agar manusia membersihkan dirinya dari hadats besar maupun
kecil. Orang yang sedang ber-hadats kecil saja, tidak boleh menyentuh
al-Qur'an. Sebelum wudhu, ia haram memegang, membawa, bahkan sekedar
menyentuhnya saja. Namun, ia tetap diperbolehkan untuk membaca al-Qur'an.
Berbeda dengan mereka yang sedang ber-hadats besar. Di samping ia tidak boleh
membawa, memegang dan menyentuhnya, membacanya pun haram. Siapa saja yang
melakukan pelanggaran atas yang demikian akan mendapatkan dosa. Itulah pendapat
para ulama bermadzhab Syafiiyah.
Kedua, berlindung dari syetan.
Isti'adzah atau berlindung diri dari syetan dalam hal ini lebih bermakna
membebaskan diri dari kesombongan. Orang yang membaca al-Qur'an harus
mampu mengalahkan dirinya sendiri.
Jika diperhatikan dengan seksama,
perintah membaca isti'adzah sebelum membaca al-Qur'an terasa janggal. Bagaimana
mungkin orang yang telah siap taqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT
dituntut untuk isti'adzah, ,ohom perlindungan dari syetan. Bukankah orang yang
mau membaca al-Qur'an dan mau mempelajarinya adalah orang yang shâlih?
Sementara al-Qur'an yang dibaca atau dipelajarinya adalah kitab suci yang tidak
akan pernah terjamah oleh tangan syetan.
Namun al-Qur'an berkata lain (QS.
16:98). Isti'adzah dalam hal ini lebih bermakna membersihkan diri dari syetan
yang bercokol di dalam hati manusia. Syetan inilah yang akan mengganggu proses
penempaan al-Qur'an pada dirinya. Meskipun al-Qur'an berulang kali ia baca,
tetap saja kontak dari keduanya terasa hambar dan seakan tidak pernah terjadi
sama sekali. Kritik al-Qur'an, anjuran dan larangannya tidak memberi pengaruh
yang berarti pada diri pembacanya.
Ketiga, menjaga ritme bacaan sesuai
aturan. Menjaga ritme bacaan al-Qur'an termasuk salah satu unsur penting dari
al-Qur'an. Dengan ritme bacaan yang benar sesuai kaidah tajwid, akan memberikan
ruang pada al-Qur'an untuk bekerja melakukan terapi pada qalbu pembacanya.
Itulah peranan yang dimainkan oleh aturan baca al-Qur'an. Sentuhan rasa yang
terkandung dalam alunan bacaan al-Qur'an akan mengalir dengan halus, menyentuh
hati yang dalam (fuad) dari manusia.
Jika cara baca al-Qur'an tidak
memiliki urgensi apapun, sudah barang tentu Allah SWT tidak akan
mempedulikannya. Namun dalam hal ini Allah SWT justru merasa penting untuk
mengajarkan dan menyontohkan secara langsung, bagaimana al-Qur'an harus
dilafalkan. Hal ini karena bacaan al-Qur'an yang benar, mengikuti apa yang
telah diajarkan Allah SWT, akan memberikan pengaruh pada hati pembacanya. juga
pendengar-nya. Memang demikianlah, hati selalu berada dalam keunikannya
sendiri. Jika ia sedang galau, kalut dan putus asa, maka hanya sentuhan
kelembutan dan keheninganlah yang mampu menenangkannya. Di sinilah wilayah
bacaan al-Qur'an memainkan peranannya menawarkan kedamaian dan menyuguhkan
kebahagiaan sejati. Dengan begitu, keakraban dan kedekatan al-Qur'an dapat
dirasakan dengan nyata. Sapaan dan belaian kasihnya mampu menenteramkan jiwa.
(Alquran Sahabat Sejati)
Oleh : KH. Khatibul Umam, SQ @Nusantaramengaji
No comments:
Post a Comment