Al-Quran mempunyai sekian banyak
fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti
kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap.
Pertama,
menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara
keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh
surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah.
Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca
QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih
kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).
Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan
mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).
Seorang ahli berkomentar bahwa
tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang
kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad
saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi
yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."
Walaupun Al-Quran menjadi bukti
kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk
untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama,
atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian
kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan
seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya
pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan
seseorang menuju air kehidupan itu.
Dalam syari'at ditemukan sekian
banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada
pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau
warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis
sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang
sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara
pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah"
atau larangan-larangan agama.
Kita sangat membutuhkan
peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga
dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah
mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju
perjalanan yang sangat jauh itu?
Manusia memiliki
kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping
itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi
menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras
bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat
terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi
setelah kematian.
Jika demikian, yang harus menyusunnya
adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai
sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas.
"Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya
itu dinamai "agama".
Sayang bahwa tidak semua manusia
dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh
informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki
kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut
kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.
Karena sifat egoistis manusia, maka
ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi
itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah
Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.
Untuk meyakinkan manusia, para Nabi
atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut
merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia
biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama
dinamai "mukjizat".
Para Nabi atau Rasul terdahulu
memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini
disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu.
Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh
umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.
Pengutusan ini juga memerlukan
mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga
tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat
universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal
manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.
Paling tidak ada tiga aspek dalam
Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus
menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah
benar bersumber dari Allah SWT.
Ketiga aspek tersebut akan lebih
meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang
pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah
masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau
Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau
sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai
menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang
tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa
mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit."
Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis
pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).
Ketiga aspek yang dimaksud di atas
adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita
yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena
keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun
demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu
pemahaman aspek pertama ini.
Seperti diketahui, seringkali
Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau
mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh.
Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak
memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah
apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan
kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah
hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat
serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata
yang bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz
Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan
sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan
secara sangat singkat sebagai berikut.
A. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan antonimnya.
Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
- Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;
- Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
- Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
- Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
- Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;
- Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah bilangan kata
dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
- Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
- Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
- Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.
C. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
- Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
- Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;
- Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
- Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
D. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan kata penyebabnya.
- Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;
- Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
E. Di samping
keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk
tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata
hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah
keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi
lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas
kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
(2) Al-Quran menjelaskan bahwa
langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali
pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86,
Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya
tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh
ayat.
(3) Kata-kata yang menunjuk kepada
utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa
berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518
kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan
pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari hasil
penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat
di atas.
Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan
gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah
Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut
akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak
seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200
tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli
purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari
data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan
yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908,
Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad
utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah berkunjung
ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam
serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin
dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.
Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya.
Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya
diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari
bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari
cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin
anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka
hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya
yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan
tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari
Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!
Kesemua aspek tersebut tidak
dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh
Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara
tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.
@KH. Qurais Syihab
No comments:
Post a Comment